Pementasan teater “I La Galigo, Asekku” persembahan IKA UNHAS Jabodetabek yang diadakan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta selama dua hari berturut-turut pada tanggal 12-13 Mei 2016 menuai sukses besar. Dihadiri oleh sekitar 500 orang penonton per hari, drama tari yang mengangkat kisah epik balada cinta Sawerigading dan diadaptasi dari 13 naskah cerita mencapai 13.000 baris teks dan 12.000 manuskrip ini memukau mata penonton. Sebelumnya, pada tanggal 22 April 2016, pementasan yang sama dilaksanakan di Malaysia.
I La Galigo telah dinobatkan sebagai mitos terpanjang di dunia, bahkan melebihi naskah Mahabarata sekalipun. Naskah I La Galigo ini menjelma menjadi ikon budaya fenomenal Bugis-Makassar yang pada 2011 dinobatkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia dalam kategori “Memory of the World” karena dianggap mengandung literatur dan ingatan kolektif dunia.
“Kami sangat bangga dapat mempersembahkan salah satu kebanggaan budaya masyarakat Sulawesi Selatan ini dan diharapkan menjadi inspirasi terbaik bagi upaya memajukan aktifitas serta apresiasi kesenian di Indonesia. Saya atas nama IKA UNHAS Jabodetabek mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya atas dukungan para sponsor yang terlibat seperti Bank Rakyat Indonesia, Ishak Advocaten dan Taksi Putra serta simpatisan lain yang ikut menyokong “I La Galigo, Asekku” dengan penuh semangat. Kedepan, ada keinginan untuk mementaskan drama tari ini di luar negeri seperti di Paris, Berlin atau Amsterdam,”kata Ketua IKA UNHAS Jabodetabek, Andi Razak Wawo dalam kata sambutan sebelum pementasan dimulai.
Teater tari I La Galigo, Asekku mengambil fragmen-fragmen awal dari cerita keseluruhan mitos. Dikisahkan manusia Bugis pertama, Batara Guru, yang datang dari “dunia atas” mengisi kekosongan pada “dunia tengah”. Kain putih menjuntai di sisi kanan panggung menjadi sebuah simbolik atas kendaraan yang menghubungkan antara dua dunia. Di “dunia tengah” itulah, Batara Guru bertemu dengan We Nyilliq Timo dari “dunia bawah” yang kelak menjadi istrinya. Dari hubungan mereka, lahirlah Batara Lattuq yang lantas menikah dengan sepupunya bernama We Datu Sengngeng.
“Ruh” I La Galigo yang bercerita tentang peristiwa protohistorik Luwu – Sulawesi Selatan, lebih banyak dihantar melalui ungkap lirih pemimpin Bissu. Kala itu saya merasa begitu kuat proses atribusi yang bertolak dari penguasaan individu (secara artistik dan estetik) dari pengalaman fenomenal masyarakat Luwu. Khasnya dalam menghadirkan kisah Patotoqe, sang dewata, menentukan takdir menurunkan Batara Guru sebagai wakil ‘orang dunia atas’ untuk bersinggungan dengan ‘orang dunia di tengah’ dan ‘orang dunia di bawah.’Dalam mitologi Bali, persis seperti Tri Hita Karana, dan di Batak dengan tokoh yang sama yang menyambungkan Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru melalui Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Hal yang sama juga kita temukan dalam mitologi lain, termasuk Jawa. Dalam Sureq I La Ga Ligo kita mengenalinya melalui Batar Guru, Sawiregading dan I La Ga Ligo.Malam itu (Jum’at: 13/5/16) proses nilai atribusi itu hadir dalam “ruh” Bugis yang khas. Sepanjang pertunjukan, secara berurutan dan hipodermis, mengalir begitu banyak hal yang mengubah realitas ketiga dan kedua (mitos dan imajinasi) menjadi realitas pertama (pengalaman baru). Kesemuanya menyatu dan berbaur ke dalam diri, dan menjadi agregat individual (setidaknya bagi saya) dan menjadi nilai tambah pengalaman batin. Saya merasakan (dan kemudian menduga) atribusi itu juga menjadi agregat untuk merasakan kontribusi aktivitas budaya (pergelaran) terhadap nilai yang dibawa penonton ke Graha Bhakti Budaya – Taman Ismail Marzuki, tempat pergelaran itu dilakukan. Paduan seni peran, tari, musik, dan puisi yang menyatu dalam pertunjukan yang skenario dan penyutradaraan (juga pemeranan) dilakukan Ilham Anwar, tampil utuh. Supervisi skenario oleh Nirwan, tampak menjaga struktur pertunjukan, narasi, dan juga dialog”.