Belakangan rakyat Indonesia disuguhi sebuah adu argument menarik di internal pemerintahan Jokowi-JK mengenai alternatif teknologi yang sebaiknya dipakai oleh Inpex- pengelola Blok Abadi dalam mengalirkan hidrokarbon dari perut lapangan Abadi yang berada di pinggir wilayah RI berbatasan dengan Timor Leste.
IKA UNHAS Jabodetabek menanggapi kontraversi yang terjadi dengan memberikan tanggapan agar persoalan ini tidak berlangsung berlarut-larut dan berpotensi kontraproduktif karena bakal ada tendensi investorakan lari dan tidak melanjutkan proyek ini.
Ketua IKA Unhas Jabodetabek, A.Razak Wawo menandaskan bahwa “Salah satu kata yang termasuk paling banyak muncul dalam adu argumen ataupun pemberitaan mengenai proyek kepunyaan Inpex ini adalah “Proyek”. Ya , ini adalah sebuah usaha kelanjutan dari dimenangkannya WKP atau Wilayah Kerja Pertaimbangan oleh Inpex. Perusahaan ini kemudian melakukan pekerjaan seismic atau penginderaan, mengebor sumur eksplorasi lalu kemudian masuk kedalam kesimpulan bahwa lapangan ini punya nilai keekonomian yang cukup prospektif.
Lalu mulailah mereka menyusun rencana awal proyek. Mulai dengan melakukan langkah-langkah2 appraisal atau visibility untuk menilai kembali keekonomian lapangan Abadi ini secara lebih rinci sambil secara bersamaan mulai menyusun rencana pengembangan lapangan (Plan of Development-POD) yang menjadi ukuran utama dari pemerintah Indonesia – si empunya lapangan sebenarnya – dalam hal persetujuan apa-apa saja yang akan dilakukan Inpex untuk lapangan itu dari mulai awal sampai akhir pemanfaatan WKP tersebut.
POD yang disuguhkan Inpex yang menggandeng Shell sebagai partnernya ini kemuadian dievaluasi oleh SKKMigas yang dalam hal ini sebagai perpanjangan tangan Menteri ESDM dan disetujui. Sekedar info saja bahwa dalam POD ini dicantumkan juga alternatif apa saja yang akan dilakukan atau dibangun oleh Inpex untuk mendapatkan hasil ekonomi yang sebanyak-banyaknya. Saya kok yakin bahwa alternatif FLNG dan Onshore LNG ada di dalamnya.
Mari kita kembali ke kata yang paling banyak disebutkan dan saya pilih untuk memulai diskursus ini.Proyek – Sebuah proyek didefinisikan sebagai usaha temporer yang dilakukan untuk menghasilkan sebuah produk atau jasa atau hasil yang sifatnya unik. Karena sifatnya sementara maka ia terindikasikan mempunyai dimensi waktu mulai dan akhir. Akhir proyek bisa diklaim kalau ia sudah menghasilkan sesuatu yang menjadi target hasil proyek. Atau bisa saja berakhir jika tidak dapat atau diperkirakan tidak akan menghasilkan target yang direncanakan, ataupun pada saat dihasilkan, kebutuhan akan hasil itu sudah tidak ada lagi.
Ada 2 hal yang sangat diperhatikan oleh para pelaku proyek untuk menjaga proyek itu agar bisa memberi hasil dengan biaya dan jangka waktu yang sudah disetujui bahkan kalo bisa dengan biaya yang lebih murah dan waktu yang lebih cepat.2 hal itu dikenal dengan resiko dan peluang (risk and opportunity).Hemat penulis, inilah memang faktor yang sangat menentukan untuk keberhasilan suatu proyek.
Resiko, inilah kata yang juga jadi headline argument diatas. Resiko kemahalan harga, resiko teknis pada saat loading LNG dari FLNG ke LNG cargo carrier, resiko buckling pada saat instalasi pipa bawah laut dan masih banyak sekali yang berkaitan dengan dua alternatif tersebut diatas.
Pada beberapa perusahaan oil and gas yang mapan, pengenalan dan identifikasi resiko adalah sesuatu yang jamak dan mutlak.Visibility dan assurance serta readiness dari sebuah proyek, apalagi proyek dengan hitungan trilyunan rupiah dapat ditentukan dengan sejauh mana proyek itu mengenali setiap resiko yang dapat terjadi. Saya ragu jika perusahaan seperti Inpex mempunyai tools dan processes yang kuat dalam mengenali resiko ini. Inpex ini banyak tercatat sebagai investing Company untuk proyek-proyek2 lapangan minyak dan gas diseluruh duniatapi bukan sebagai operator langsung.Di Indonesia juga tercatat beberapa lapangan yang mempunyai sharing dengan perusahaan ini.Dengan sendirinya bisa dikatakan bahwa belum punya pengalaman yang memadai sebagai operator lapangan minyak dan gas seperti halnya Chevron, Exxon, Shell, Total, BP dan yang lainnya.
Untuk mengawal proses pengenalan dan mitigasi resiko ini, beberapa perusahaan terkenal diatas rela menginvestasikanjutaan dollar untuk menciptakan siystem pengenalan resiko yang handal dan juga identifikasi mitigasinya. Sejumlah universitias dan institusi terkenal dunia diajak rembuk untuk memastikan standar manajemen resiko dimuat dan dikenali oleh siystem manajemen proyek mereka. Software yang berkorelasi dengan manajemen resiko diciptakan untuk memudahkan mereka.Tabel implikasi terhadap fasilitas, lingkungan dan dan kerugian lainnya dalam bentuk tangible maupun intangible dibuat khusus dan distandarisasi.
Lebih jauh lagi di beberapa perusahaan itu, ada stage gate process atau tahapan penting dimana kualitas manajemen resiko proyek tertentu harus diuji kelayakannya untuk masuk ke fasa selanjutnya.Dengan melihat sejauh mana para pemain minyak dan gas ini melakukan investasi serta keseriusan mereka dalam hal manajemen resiko, kita bisa melihat bahwa sebenarnya mereka besar kemungkinan sudah mengenali resiko apa saja yang dapat timbul dari dua alternatifve tersebut. Patut mungkin ditanyakan, apa proses yang sama seriusnya sudah dilakukan oleh kedua belah pihak yang beradu argumen. Sematang apa proses pengenalan resiko yang sudah mereka lakukan? Apa proses yang mereka gunakan? Asumsi-asumsi apa yang dipakai dalam pengenalan dan mitigasi resiko? Ddan maaf, mudah-mudah2an itu tidak didapatkan hanya dari pembicaraan atau diskusi singkat tanpa melalui proses yang komprehensif. Indikasi yang sangat mengganggu pikiran saya adalah tidak diungkapkannya kemungkinan-kemungkinan2 mitigasi yang dapat dilakukan, paling tidak sepatutnya sepadan pemaparannya dengan resiko yang digembar-gemborkan.
Kita lihat satu contoh saja, untuk pilihan onshore LNG dibutuhkan pergelaran pipa sejauh kurang lebih 600 km. Menurut pihak yang mendukung alternatif ini, pergelaran pipa bisa dilakukan. Ketika ditanyakan bahwa ini akan sulit mengingat adanya palung/trench diarea sea-bed lapangan Abadi, argumentasinya bahwa proyek lain sudah melakukannya. Sejauh yang saya tahu saya belum melihat adanya proyek yang sudah berani melakukan pergelaran pipa sejauh itu dengan kondisi nature trench yang dipunyai lapangan Abadi/Masela. Lebih jauh lagi dengan potensi impurities (komposisi kimia yang bisa menyebabkan korosi atau yang lainnya) seperti CO2 yang mungkin akan memperpendek umur pipa. Bagaimana metode instalasi yang akan dilakukan?Mungkin juga saya bisa menambahkan aspek geoteknis dan analisa kegempaan di wilayah tersebut. Banyak sekali resiko yang bisa di kenali hanya untuk satu ide pergelaran pipa,bisa dibayangkan resiko yang lain berkaitanddengan keseluruhan alternatif.
Sebuah studi awal untuk proyek pergelaran pipa pipa yang melewati Timor trench kepunyaan Negara tetangga kita Timor-Timor menunjukkan resiko yang cukupbesar yang akan berkorelasi pada kegagalan proyek. Letak lapangan yang disebut Sunrise field yang akan dikembangkan mencoba men-design siystem perpipaan bawah laut dari lapangan tersebut ke Timor Leste, tempat di mana LNG akan juga dibuat. Banyak hasil studi dan komentar para ahli tentang visibility proyek ini. Intinya adalah untuk menetapkan design awal dari siystem perpipaan ini saja mereka belum juga rampung. Banyak resiko yang mereka harus tahu terlebih dahulu, menganalisanya dan melengkapi dengan mitigasi yang diperlukan.Sunrise field ini boleh dikatakan tetangga dengan Abadi field. Bisa jadi ada beberapa kondisi lingkungan, kegempaan dan juga kontur yang mirip atau bahkan identik.
Dengan contoh ini diharapkan masing-masing pihak sadar bahwa ide-ide mereka sangat bisa ditest keshahihannya dengan membuka ruang seluas-luasnya untuk informasi kemudian mengolahnya kedalam asumsi ide itu sendiri.Petunjuk sebenarnya bertebaran di mana-mana.
Dalam hal pengenalan dan manajemen resiko ini, Inpex terbantu dengan kehadiran Shell sebagai mitra dan juga pemegang sekitar 30-an persen%. Shell terkenal mempunyai proses manajemen resiko yang baik. Inpex juga bergerak cepat merekrut beberapa praktisi dan merayu karyawan dari beberapa perusahaan minyak dan gas lain yang terkenal kemampuannya dalam manajemen resiko untuk bergabung. Pertanyaan yang sama selanjutnya kita boleh ajukan ke pihak Inpex dan Shell, apakah mereka sudah melakukan proses yang baik dalam mengenali resiko di setiap tahapan proyek? Saya berani mengatakan ya, sangat kuat dugaan saya mereka sudah melakukannya. Inpex terbantu dengan adanya Shell dalam tim mereka sebagai pemegang saham sejumlah lebih dari 30%, proses manajemen reisiko untuk proyek Masela proyek bisa dianggap teratasi.
Dengan Front-End Engineering yang telah mereka lakukan selama berbulan-bulan, tentunya aspek resiko yang tadinya berada pada tahap pengenalansudah diobservasi kembali validitasnya dan melewati beberapa pengujian yang lebih tajam ketimbang di fase sebelumnya. Aspek mitigasi resiko juga dengan sendirinya akan lebih tajam. JIka di akhir fase ini ditemukan resiko besar dari alternatif FLNG ini, amaka tidak usah capak-capek di debat, pihak Inpex dan Shell pasti sudah lama menghadap kembali ke SKK Migas dan mengajukan perubahan rencana preferensi tentang strategi fasilitias pengolahan gas dari Lapangan Abadi.
Sementara itu Menurut Sapri Pamulu, PhD dari Divisi Ristek IKA UNHAS Jabodetabek,”Pernyataan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa teknologi Floating LNG Production Unit belumlah proven adalah pernyataan yang tidak beralasan. Di dunia saat ini, beberapa Proyek Floating LNG Production yang sementara melalui proses pengembangan bahkan sudah ada yang mulai beroperasi seperti proyek EXMAR FLNG Caribbean dengan kapasitas 0.5 Juta Ton per Tahun, Proyek Golar HILLI yang lagi proses konstruksi dengan kapasitas 2.5 Juta Ton per Tahun, Proyek Shell di Australia kapasitas 3.6 Juta Ton per Tahun dan beberapa proyek floating LNG lainnya yang sementara dalam tahap Front-End Engineering and Design (FEED)”.
”Perusahaan-perusahaan seperti Shell dalam memutuskan untuk mengembangkan teknologi ini telah melalui kajian First of A Kind (FOAK) Analysis yang harus mendapatkan persetujuan dari Chief of Financing Officer perusahaan tadi”, tambahnya lagi.
Kemaslahatan dan kleuntungan sebesar-besarnya untuk Negara yang didapatkan dari lapangan Abadi ini tidak akan terlaksana tanpa investasi dari pihak kontraktor. Skema cost recovery meniscayakan kontraktor/investor untuk membangun semua fasiklitas yang dibutuhkan dengan dana mereka di depan. Hanya setelah lapangan beroperasi, produksi yang dihasilkan sebagaiannya akan mejadi hak kontraktor sebagai pengembalian dari investasi yang sudah ditanamkan.
Dalam mencari dana investasi ini tentunya Inpex harus bisa meyakinkan banyak stakeholder untuk menanamkan modalnya dalam proyek ini. Inpex sendiri tentunya juga harus yakin secara internal bahwa proyek ini visible untuk dilakukan.dDari semua aspek. Dengan sangat gampang bisa kita tanyakan pada diri kita sendiri, kalau kita jadi Inpex, apa kita nyaman dengan penundaan fase proyek hanya untuk menunggu jawaban tentang alternatifve yang dipilih? Dan jika onshore LNG yang dipilih, bukankah mereka sudah melakukan proses pengidentifikasian alternatifve hampir 10 tahun yang lalu? Kemudian di uji lagi dengan proses berbulan-bulan dalam tahapan FEED?Inpex masih punya beribu resiko proyek yang harus mereka pikirkan, resiko sub-surface uncertainty, metode pengeboran yang paling tepat untuk mencapai target kedalaman, strategi fasilitas produksi, strategi fabrikasi, konstruksi dan instalasi, dan banyak lagi. Kesemuanya masih bisa berujung pengunduran bahkan pembatalan proyek. Masih sangat banyak PR yang mereka belum dan harus lakukan.
“Pertanyaaan-pertanyaan yang sama juga akan diajukan para calon investor dari proyek ini”, tambah A.Razak Wawo,.“Penundaan proyek karena peninjauan kembali sebuah keputusan yang sudah disetujui,akan menimbulkan tanda tanya yang sangat besar tentang kelayakan proyek ini. Para investor ini bukan anak baru dalam bisnis energi.Mereka sudah menanamkan modalnya di banyak negara, puluhan tahun lamanya.Dan maaf, untuk investasi di Indonesia, stigma buruk sejenis inisudah jauh hari di tempelkan. Selamat pak, stigma itu semakin kuat telah anda tempelkan.
Demikianlah, sebaiknya tolong pikirkan dengan jernih.Kita bermimpi membuat rakyat Maluku dan sekitarnya sejahtera, tapi ketika terbangun dari tidur tentang mimpi patriotik itu, tak ada yang terlihat.Tak ada Onshore LNG atau FLNG. Inpex dan para investornya sudah angkat kaki dan memilih tempat lain. Capek melihat ketika saling bertikai. Padahal bersama SKK Migas, mereka sudah kita libatkan dalam proses yang panjang. Membahas dari awal, mengaji dari alif.Oh ya, Inpex punya fasilitas dekat dari Lapangan Abadi, yang sudah mulai terbangun di benua Kanguru, Lapangan Ichtys namanya. Mungkin lebih baik begitu buat mereka.Ketimbang menunggu kita keluar dengan keputusan, yang bisa saja berubah lagi.
Pemerintah di sisi lain berharap iklim investasi yang sehat dan kondusif sehingga bisa mengundang Foreign Direct Investment (FDI) namun pada kasus ini sepertinya kita akan membuat investor kita hengkang dari bumi pertiwi Indonesia karena ketidakpastian investasi yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir.
“Sebagai bagian dari masyarakat IKA Unhas Jabodetabek menuntut pemerintah memberikan porsi alokasi gas sebanyak-banyaknya buat kemaslahatan masyarakat dan kepentingan nasional. Alokasi gas untuk nasional akan memberikan multiplier effect pada perekenonomian nasional dengan membangun industri nasional berbasis petrokimia seperti methanol sampai pada olefin, ammonia dan urea sampai pada produk turunannya. Alokasi gas kedua diharapkan dialokasikan untuk melakukan penghematan bahan bakar minyak dengan mengkonversi ke bahan bakar gas untuk pembangkit listrik (PLN) dan industri-industri nasional yang menggunakan bahan bakar minyak saat ini”, pungkas M.Sapri Pamulu.