Belum lama ini marak di media sosial hingga berita televisi mengenai beberapa orang yang berfoto narsis dengan latar belakang lokasi jatuhnya pesawat Transasia Airways. News.com.au melaporkan, ada orang-orang berkerumun tepat di depan lokasi evakuasi sambil berfoto. Beberapa di antaranya menunjukkan ekspresi ceria.
Dalam sebuah foto yang beredar luas, terlihat 3 perempuan berpose dengan wajah gembira. Salah seorang dari mereka menaikkan dua jarinya, membentuk huruf V. Di belakang mereka tampak jelas perahu-perahu karet tim penyelamat yang masih mencari korban-korban yang hilang
Sebagaimana kita ketahui, pesawat bernomor penerbangan GE235 itu jatuh di Sungai Keelung, Taipei, Taiwan, pada 4 Februari pagi. Pesawat berpenumpang 58 orang itu mencatat 43 korban tewas dan sisanya selamat.
Sontak foto ini menjadi pembicaraan dan mengundang banyak kecaman. Mereka yang menggunakan peristiwa ini sebagai media hiburan disebut sebagai orang-orang yang tak berprikemanusiaan. Berfoto ceria di lokasi kecelakaan menunjukkan pelakunya tidak mempunyai sikap empati.
Senada dengan itu, ada anggota polisi dan TNI yang menjadi topik pembicaraan di media sosial karena berposes narsis di depan bangkai pesawat Air Asia QZ8501setelah proses pengangkatan ekor pesawat pada bulan lalu.
Media Inggris, Mirror.co.uk menyebutkan bahwa lelaki dalam foto tak menunjukkan kesedihan karena tersenyum lebar hingga tampak deretan giginya. Dalam beritanya, Mirror menyatakan petugas ini memiliki selera rendah – “Is this the most tasteless photo opportunity ever?”
Empati – dalam hal ini menjadi ukuran orang dalam menanggapi pantas-tidaknya sebuah perilaku. Tentunya, dengan menilai apa yang tampak di depan mata yang terlihat kontras dengan sikon di sekitarnya terlihat ekstrem dan tidak pantas dilakukan.
Lebih dari sekadar empati, atas dasar kemanusiaan, penegasan hukum, dan penerapan efek jera, Menteri Sosial – Khofifah Indar Parawangsa (6/2/2015) mengusulkan pemberlakuan hukuman potong saraf libido bagi pelaku kejahatan seksual. Kejahatan seksual makin marak akhir-akhir ini. Mudah-mudahan perempuan yang punya “kekuatan” untuk bersuara dan mendesak pemerintah ini dapat mendorong penegakan hukum yang seadil-adilnya karena perempuanlah yang paling memahami bagaimana kejahatan seksual amat merusak secara fisik dan psikis dalam waktu lama.
Lagi-lagi mempertanyakan empati, tidak semua orang setuju dengan larangan impor pakaian bekas. Walaupun Asosiasi Pedagang Kaki Lima menyetujuinya karena dianggap bisa mematikan industri garmen dan konveksi, para kolektor kostum sepakbola original (jersey) mempertanyakannya. Richie Viando (32), kolektor jersey ternama asal Bandung heran dengan alasan pemerintah bahwa pakaian bekas impor terbukti mengandung banyak bakteri dan jamur yang membahayakan konsumen. Menurutnya, jersey dikoleksinya sejak duduk di bangku SMA tapi hingga kini ia sehat-sehat saja.
Pemakai pakain bekas impor banyak. Mereka tahu cara untuk membebaskannya dari kuman. Pastinya mereka tak langsung memakainya setelah membelinya. Ada pula yang suka memakai pakaian dalam bekas. Apalagi alasannya kalau bukan “murah dan bahannya awet”. Sebagian dari mereka tahu cara membebaskannya dari kuman yang dikhawatirkan pemerintah, yaitu dengan merebusnya dalam air mendidih, mencucinya, lalu menjermurnya di terik matahari. Tapi entahlah dengan sebagian yang lain.
Di Makassar dan sekitarnya, kita mengenalnya dengan istilah “cakar” (cap karung). Masyarakat ekonomi lemah amat terbantukan dengan adanya cakar. Di tengah tuntutan ekonomi yang makin besar, saat harga-harga terus naik walaupun harga BBM sudah turun, cakar merupakan jalan keluar yang menyejukkan. Bila pandai menawar, 3 lembar jaket berbahan bagus layak pakai bisa dibeli seharga tiga puluh lima ribu rupiah. Kalau kenal baik dengan pedagangnya, 8 lembar celana panjang bisa dibawa pulang dengan harga lima puluh ribu rupiah.
Media-media cetak dan online di Indonesia menaikkan berita maraknya protes dari para pedagang pakaian bekas di Tebing Tinggi, Balikpapan, Bandung, Surabaya, Nunukan, dan Makassar. Alasannya adalah belum adamya laporan dari pembeli yang mengaku kena penyakit karena memakai barang jualan mereka. Malah pembeli terbantu karena harganya murah dan kualitasnya terjamin. Selain itu, mereka khawatir dengan nasib keluarganya.
Kebijakan pemerintah masih diharapkan dalam berempati terhadap mereka yang bersinggungan dengan pakaian bekas impor. Kekhawatiran terhadap penularan penyakit berbahaya menjadi alasan utama dalam pelarangan ini kiranya bisa disikapi dengan bijak. Apakah memang signifikan dampaknya?
Lalu, berdasarkan uraian Menteri Perdagangan Rachmat Gobel (dikatakannya saat berkunjung ke Media Group, di Gedung Metro TV, Jakarta, 24/02/15) bahwa pakaian bekas impor bekas ilegal ini mempengaruhi petumbuhan industri garmen kecil menengah di Indonesia, yang berdampak pada keterbatasan kemampuan kreativitas masyarakat. Apakah memang dampaknya signifikan?
Penentu kebijakan sebaiknya mencoba berempati pada kaum ekonomi lemah. Mencoba merasakan girang ketika bisa membagi penghasilan untuk berpakaian “layak”, mengisi perut, dan pendidikan anak dalam kondisi keuangan terbatas. Mereka diharapkan hendaknya bisa merasakan keriangan saat bisa berbagi dengan yang lebih susah setelah menyisihkan sedikit uang dari pembelian cakar.
Berfoto-foto narsis dengan latar belakang lokasi kecelakaan pesawat saja bisa dengan mudah kita tuding sebagai “sikap tak berempati” oleh banyak orang, kini penyelesaian yang lebih berempati semoga bisa menjadi itikad baik yang bisa diperlihatkan para penentu kebijakan di negara ini.