Benua ‘maritim’ yang kelak bernama Indonesia ini dikenal sebagai kawasan kaya sumberdaya alam sejak abad ke 16. Bermula ketika masuknya pelaut (sekaligus agressor) Portugis, Belanda, Inggris dan beberapa negara lainnya. Potensi lekuk pegunungan, hutan lebat, rawa lapang dan laut luas jadi medan eksploitasi para pemangku kepentingan untuk diolah dan dikomersilkan. Terbukanya hubungan dagang dengan berbagai bangsa di dunia menjadi pemicu mengapa banyak pedagang dari Eropa yang menyasar kawasan ini.
Beberapa tahun kemudian, di tiga dasa warsa terakhir, bangsa ini akhirnya menyadari bahwa belum ada dampak signifikan atas pola pemanfaatan sumberdaya alam untuk menuju kondisi kesejahteraan rakyat seperti yang diidam-idamkan dalam undang-undang dasar negara. Dilema potensi kelautan salah satunya. Dinamika politik yang dicirikan oleh lemahnya penegakan hukum menjadi pemicu mengapa fondasi ekonomi nasional belum menemukan titik baliknya untuk mengantar bangsa ini ke cita-cita pendiriannya.
Saat ini, di saat negara sedang mengalami krisis untuk pulih pada semua dimensi, seperti sosio-politik, ekonomi, ekologi, penegakan hukum, nampaknya dibutuhkan strategi jitu yang bisa memaksimalkan setiap potensi yang ada. Kelautan adalah salah satu penopang ekonomi nasional. Kelautan yang dimaksudkan di sini adalah manifestasi kawasan yang masih dipengaruhi oleh dinamika oseanografi yaitu pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Segala hal yang terkait di dalamnya seperti perhubungan, tata ruang dan permukiman, perikanan, pariwisata, industri perkapalan, navigasi dan dimensi sosial ekonomi budaya serta politik yang menyertainya.
Walau tidak tepat, dimensi Kelautan kerap diidentikkan oleh potensi perikanan. Beberapa dekade silam, produksi perikanan laut dalam dan dangkal telah menjadi sumber pendapatan bagi negara walau pada beberapa titik telah mengalami penurunan kuantitas sampai 31 persen seperti terumbu karang karena penggunaan bom dan bius, atau ekosistem bakau yang semakin menyempit dari 4,3 Juta hektar pada 2006 atau tidak lebih 25% dari luas bakau dunia, kini semakin berkurang atau rusak hampir setengahnya karena konversi untuk pertambakan dan permukiman.
Kedua ekosistem penting ini tergerus karena pemanfaatan untuk kepentingan ekonomi. Terkait industri perikanan nasional dari perikanan tangkap, diduga carrying capacity nasional semakin berkurang karena serbuan nelayan asing dan keterbatasan teknologi dalam negeri. Hal ini diperparah oleh ketidakmampuan aparat negara melindungi wilayah-wilayah potensial tersebut. Jadi jangan heran jika kemudian, garam, ikan pun kini diimpor. Ikan yang berasal dari negeri ini kemudian diimpor karena bangsa lain yang memanfaatkannya.
Jika melihat luas perairan umum Indonesia saat ini yang mencapai 50 juta ha dengan potensi perikanan 10 juta ton dan yang dimanfaatkan baru sekitar 0,5 juta ton maka sebenarnya masih terbuka peluang bagi semua pihak, negara, masyarakat dan perusahaan kelautan untuk mengembangkan industri perikanan tangkap.
Menurut Mantan Menteri Kelautan, Prof Rokhmin Dahuri, walau terdapat beberapa penurunan kuantitas wilayah perairan Indonesia namun perikanan budi daya laut yang mencapai 24 juta ha berpotensi menghasilkan 42 juta ton, yang pemanfaatannya masih 8%. perikanan budi daya tambak memiliki potensi 1,2 juta ha dengan produksi 10 juta ton. tetapi baru dimanfaatkan 9,9%. Belum lagi potensi perikanan budi daya lainnya dan tangkap seluas 672,9 juta ha dengan potensi produksi mencapai 65 juta ton. Namun, produksi perikanan nasional pada 2010 baru 10.39 juta ton atau 16% dari potensi yang ada 65 juta ton.
Beberapa negara di Asia seperti China, Thailand, Philipina mulai melaju dengan produksi perikanan tangkapnya. Memang, Indonesia masih masuk ke urutan ketiga dunia namun ini semakin mengkawatirkan mengingat semakin kisruhnya pengawasan lalu lintas kapal perikanan di perbatasan. Dibutuhkan upaya untuk menapak langkah baru dalam mengembangkan memulihkan potensi kelautan ini. Bukan hanya pada aspek teknis perikanan, tetapi terkait kapasitas para pemangku kepentingan, pemerintah dan organisasi pengelola yang ada baik itu pariwisata, perhubungan, industri maritim dan lain sebagainya.
Pilihan Strategi
Lalu strategi apa yang dapat ditempuh agar keunggulan potensi kelautan yang pernah ada serta karakter sosial budaya maritim itu kembali menggeliat? Strategi apa yang bisa memberi harapan bagi pilar ekonomi nasional dengan memanfaatkan sumberdaya kelautan ini? Jika mencermati situasi internal dan eksternal para pemangku kepentingan baik pada level masyarakat (grass root) hingga pemerintah pusat maka ada beberapa pilihan strategi:
(1) Reformasi birokrasi melalui formulasi visi dan kebijakan nasional yang mengarusutamakan kelautan sebagai fokus pembangunan. Disebut arus utama jika semua aspek mengarah pada pengelolaan potensi sumberdaya manusia dan pesisir dan laut untuk mendukung ekonomi nasional. Pengambil kebijakan negara ini harus percaya bahwa dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif akan berdampak pada peningkatan pendapatan nasional yang signifikan. Potensi terumbu karang untuk perikanan dan pariwisata dapat menggenjot devisa dan ekonomi warga, demikian pula dengan ekstensifikasi dan intensifikasi perikanan yang lebih praktis dan berkelanjutan.
(2) Konsistensi dan Penegakan Hukum. Usaha pemanfaatan sumberdaya alam membutuhkan koridor regulasi dan dibarengi dengan penegakan hukum atau perundang-undangan yang konsisten. Selain itu, perlu dukungan dan jaminan kepada sektor ril perikanan agar tidak mudah terganggu oleh gejolak politik dan ekonomi dunia. Sebagaimana diketahui bahwa dampak langsung misalnya kenaikan harga minyak dapat berdampak pada nelayan kecil atau pengusaha perikanan dalam pemenuhan kebutuhan operasional seperti bahan bakar, dan lain sebagainya.
(3) Pengelolaan Kolaboratif. Kelautan sebagai area kompleks harus dikelola secara kolaboratif. Olehnya itu diperlukan kesepakatan antar aktor untuk saling berbagi kapasitas dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Sebagai misal, pemanfaatan hasil perikanan tangkap tidak akan lancar jika tidak dibarengi sarana prasarana perhubungan laut yang memadai. Pabrik es atau cold storage yang siap sedia. Demikian halnya dalam mendorong kolaborasi yang sinergis antara pemerintah, private sector dan masyarakat sipil kelautan.
(4) Peningkatan Kapasitas Para Pemangku Kepentingan. Diperlukan penguatan kapasitas melalui pelatihan produksi serta pengelolaan yang mengadopsi keseimbangan antara produksi dan konservasi. Di sini ditekankan pada pentingnya mengadopsi cara eksplotasi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan
(5) Penguatan Kerjasama dan Jaringan Usaha. Mengingat wilayah pesisir Indonesia satu sama lain sangat berjauhan dari faktor produksi maka diperlukan interkoneksitas antar wilayah untuk saling berbagi data, informasi termasuk input produksi. Dengan Di sini dibutuhkan fasilitator dan akselerator usaha yang praktis dan efisien.