Opini : Ilham Paulangi
Ucapan Ketua Umum Ika Unhas Jusuf Kalla, beberapa tahun lalu, yang menginginkan agar alumni lebih baik memposisikan Ika Unhas pada level “Setingkat di atas Arisan” memanjadi pemantik perdebatan di kalangan alumni. Banyak yang salah mengartikan ucapan tersebut, dengan mempersepsi bahwa Ika Unhas cukup dikelola dengan cara seadanya saja.
Tetapi dalam hal organisasi, pak JK sebagai seorang tokoh yang banyak makan asam garam dalam berorganisasi, berpolitik dan berbisnis, pasti tahu apa implikasi dari kalimat yang diucapkankannya.
Pak JK punya kemampuan naratif yang luar biasa. Seringkali mengucapkan sebuah konsep besar atau sebuah isu yang krusial dalam narasi yang sederhana tapi kena.
Mengapa Pak JK mengatakan, mengatakan “Ika Unhas cukup setingkat diatas arisan” sebenarnya dapat diartikan sebagai sebuah “warning”, bahwa sebuah organisasi alumni harus diletakkan pada posisi yang tepat. Jangan sampai lebih tinggi, melampau hakikatnya dan tujuan utamanya.
Karena organisasi alumni hakikatnya, bukan organisasi seperti organisasi politik yang berbau kekuasaan atau organisasi seperti perusahaan yang bersifat transaksional, melainkan cukup sebagai social capital. Sederhananya, cukup menjadi tempat untuk “ngumpul-ngumpul” yang dapat memperkuat kohesivitas.
Seperti dikatakan oleh Robert Putnam bahwa social capital adalah jaringan, nilai dan trust. Social capital berbeda dengan political capital dan economic capital. Social capital setidaknya dikenal memiliki tiga fungsi yaitu sebagai bonding (pengikat), bridge (jembatan) dan linking (penghubung).
Organisasi alumni memang idelanya memerankan ketiga fungsi tersebut, sebagai poros dalam menyatukan alumni yang beragam, baik dari segi etnis, agama, status ekonomi dan sosial, afiliasi politik, dll. Justru dengan fungsi tersebut, Ika Unhas akan menjadi sangat berdaya guna, dan menjadi modal atau capital yang luar biasa besarnya.
Ketika organisasi alumni seperti Ika Unhas menjadi organisasi yang dibayangi bayangi relasi kuasa, maka dia akan berkembang menjadi organisasi yang tidak lagi nyaman menjadi tempat untuk ngumpul-ngumpul. Aroma persaingan, dan intrik akan berkembang menggantikan semangat untuk “ngumpul-ngumpul”, yang disebut oleh Putnam sebagai Social Capital. Kalau begitu, lalu apa bedanya dengan organisasi politik?
Ketika organisasi menjadi kendaraan untuk membangun pengaruh kuasa, maka Ika Unhas akan direbut oleh modal, akan direbut oleh motif oligarki. Pada saat motif politik, motif kuasa, motif oligarki sudah menguasai Ika Unhas maka, dia akan berubah menyerupai partai politik, tradisi sikut-menyikut akan berkembang, menjadi wilayah bargaining politik, akan menjadi kendaraan kekuasaan, dan sebagainya.
Dan pada saat seperti itu, organisasi alumni seperti Ika Unhas akan berhenti menjadi jembatan yang menghubungkan perbedaan, berhenti sebagai wadah yang merawat persahabatan, berhenti sebagai jembatan “kangen-kangenan”, tempat “ngumpul-ngumpul” bagi alumni yang pernah hidup dalam horizon yang sama di kampus.
Padahal peran organisasi Ika Unhas sebagai social capital, yang disebut oleh pak JK sebagai “setingkat di atas arisan” tidak bisa dipandang remeh. Karena pada hakikatnya alumni membutuhkan membutuhkan tempat berkumpul yang nyaman, ruang publik yang bebas dari berbagai latar belakang kepentingan. Bebas dari intrik politik dan motif transaksional.
Dengan berubah menjadi organisasi yang transaksional, organisasi yang dipenuhi kepentingan kuasa, maka apa boleh buat, rumah Ika Unhas, tempat kita berkumpul akan terenggut.
Selamat bermubes, dengan riang gembira!