Ir. Habibie Razak, P.Eng., ASEAN Eng., MM – Project Manager Black & Veatch International , Kansas City, United States
LNG Plant yang dibangun di daratan (on-shore LNG plant) membutuhkan waktu pembangunan yang jauh lebih lama bisa memakan waktu sampai 5 Tahun bukan hanya karena durasi konstruksi dan instalasinya yang lebih lama tapi juga karena banyaknya persoalan-persoalan non-teknis yang muncul pada saat fase inisiasi dan fase perencanaan suatu proyek LNG Plant. Khususnya di Indonesia, untuk membangun suatu industri (pabrik) di suatu tempat saat ini banyak mengalami tantangan dan hambatan klasik seperti pembebasan lahan, negosiasi harga tanah yang cenderung semakin mahal, biaya ijin mendirikan bangunan (IMB) yang mulai juga mahal dan juga proses perijinan (permitting and licensing) kini memakan waktu yang lebih lama dan biaya yang tidak sedikit. Ijin lingkungan, ijin mendirikan bangunan, ijin mendirikan pelabuhan dan ijin-ijin lainnya melibatkan terlalu banyak kepentingan pihak dari pemerintah dan instansi-instansinya dan juga masyarakat sekitarnya.
Selain persoalan non-teknis tadi ada beberapa pertimbangan teknis dan juga tentunya salah satunya adalah pertimbangan biaya investasi proyek yakni on-land LNG Plant dengan tujuan untuk transportasi LNG dari pulau ke pulau mengharuskan client untuk membangun pelabuhan (jetty) sebagai tempat bersandarnya LNG carrier (kapal pembawa LNG) untuk bisa melakukan proses loading dari on-shore LNG tank. Untuk membangun jetty di sea shore pun membutuhkan biaya yang cukup mahal dan terkadang biayanya bisa lebih mahal dari LNG liquefaction plantnya sendiri.
Karena persoalan-persoalan non-teknis dan teknis tadi, muncullah ide untuk membangun LNG plant di atas laut yang liquefaction processnya didudukkan di atas topside facility. LNG Plant seperti ini diberi nama floating LNG (FLNG) production facility. Pada dasarnya ada 2 tipe FLNG yang dikembangkan sekarang, tipe pertama yakni floating LNG yang berbentuk kapal (ship shaped) yang memiliki containment system atau cargo tank di dalam hull kapal. Tipe kedua adalah barge-based LNG yakni LNG production berbentuk barge dan tidak harus memiliki containment system yang besar tapi bisa saja memiliki LNG bullets tank yang diletakkan di bawah deck sebagai tempat penyimpanan LNG untuk volume kecil (small storage).
Fasilitas-fasilitas yang ada pada LNG barge atau FLNG ini sama saja dengan fasilitas on-land LNG plant yakni terdiri dari gas treating dan dehydration, liquefaction unit, boil-off gas, storage tank, utilities, sampai pada control room dan fasilitas akomodasi buat karyawan dan operator. Namun, tidak semua teknologi LNG yang ada di dunia tepat (fit) untuk aplikasi FLNG atau barge-based LNG karena membangun LNG plant di atas kapal atau barge tentunya biaya investasinya lebih mahal apabila ukuran kapal atau bargenya lebih panjang dan lebih lebar karena equipment dan piping untuk liquefaction process terlalu banyak. Di dunia, hanya ada satu technology provider yang bisa menghasilkan layout yang compact untuk suatu proses liquefaction di atas kapal dan dengan Capital Expenditure (CAPEX) yang lebih murah (feasible) yakni PRICO-SMR LNG technology hak milik dari perusahaan US bernama Black & Veatch.
Mengapa teknologi PRICO sangat tepat untuk aplikasi floating LNG? Pertama karena PRICO dikenal dengan single mixed refrigerant processnya (SMR), low count of equipment dan tentunya low cost dibanding dengan teknologi lainnya. PRICO hanya menggunakan satu compressor untuk proses refrigeration dan 1 unit compact cold-box terbuat dari brazed aluminum heat exchanger. Kedua, karena semua komponen PRICO SMR telah disertifikasi oleh marine certification agency ternama dan layak dioperasikan pada kondisi motion baik dari sisi operability dan mechanical design strength aspects. Ada beberapa evaluasi marinisasi yang dilakukan oleh Black & Veatch antara lain: process operability pada lingkungan di atas laut, rancangan mekanikal dengan mempertimbangkan motion/acceleration, offshore safety, HAZID/HASOP, blast/explotion, gas dispersion, heat radiation, isolation/relief/blowdown, spill containment, drop object, fire and gas detection, fire fighting and protection, offshore maintenance dan materials of construction. Black & Veatch telah melakukan semua studi di atas tentang kelayakan PRICO untuk dioperasikan di atas laut.
Floating Liquefaction Regasification & Storage Unit
Aplikasi FLNG atau barge-based LNG production, teknologi Black&Veatch ini sangat tepat untuk mempermudah proses transportasi LNG dari pulau penghasil gas ke pulau yang membutuhkan gas untuk kebutuhan pembangkit listrik dan juga LNG sebagai bahan bakar BBM. Dengan membangun LNG Plant di atas kapal/barge kita bisa memperpendek durasi proyek dan juga tentunya dengan biaya investasi (CAPEX) yang lebih sedikit. PRICO technology juga memberikan simplicity karena layout yang lebih kecil, equipment yang lebih sedikit dan mudah dioperasikan. Selain itu, PRICO technology ini sangat fleksibel di dalam menghandle feed-gas composition dan flow yang sering terfluktuasi sehingga memastikan plant tetap berjalan tanpa ada interupsi yang signifikan.
Lebih khusus lagi, untuk kapasitas produksi small to medium scale LNG plant dan juga lokasinya fasilitasnya tidak terlalu terekspos dari ocean movement, konsep barge-based LNG production adalah pilihan yang terbaik dari sisi kelayakan teknis maupun finansial. Black & Veatch sementara mengerjakan 2 barge-based LNG yaitu 0.5 MMTPA EXMAR FLSRU, Colombia & 0.75 MMTPA Douglas Channel, Canada. Pertanyaan, berapa biaya pembangunan barge-based LNG katakanlah untuk kapasitas produksi 0.5 MMTPA? harganya berada pada kisaran USD 200 Juta Dollar sangat tergantung pada pemilihan driver compressornya (motor atau turbine) dan juga cooling system (air or water cooling) di mana motor driven (8% cost reduction) dan air cooling (5% cost reduction) akan lebih murah sampe 13 persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah aplikasi Floating LNG atau barge-based LNG production ini layak dikembangkan di Indonesia? Jawabannya iya sangat memungkinkan untuk dilakukan, pertama: karena biaya lahan yang semakin mahal (harga tanah, dan proses pembebasan lahan dan perijinan yang semakin kompleks), kedua, lokasi sumur gas dan upstream gas treating plant kebanyakan berada di daerah lepas pantai (sea-shore) sehingga memungkinkan sumber gas tadi bisa diliquefy menjadi LNG di atas barge-based LNG plant tadi. Ketiga, dengan membangun barge-based LNG production kita bisa mengurangi biaya pembangunan jetty untuk proses loading LNG dari onshore liquefaction facility ke LNG carrier, dengan barge-based LNG proses transfer/loading LNG bahkan bisa dilakukan lebih cepat ke LNG carriers (LNGCs) melalui atau tanpa melalui Floating Storaging Unit (FSU).