Oleh: Kamaruddin Azis
IKA Unhas saat ini menjadi pemikat bagi banyak elite politik dan kaum terpelajar di Sulawesi Selatan. Jika melihat konfigurasi kepengurusan kita bisa membaca siapa-siapa yang punya track record sebagai politisi, para birokrat dengan jam terbang di atas rata-rata, mereka yang berpengalaman dari satu partai ke partai berikutnya lalu mengabdikan diirinya untuk jadi pengawal visi misi IKA Unhas.
Mereka co-exist dengan alumni yang berlatar belakang LSM, akademisi, peneliti masyarakat, warga biasa, tim sukses politik, para pelaku usaha skala kecil dan menengah, karyawan maupun para pemilik korporasi.
Salah satu sintesa dari konfigurasi beragam latar belakang itu adalah adanya keragaman asal usul ideologi, organisasi profesi, disipilin ilmu dan maha panjang pengabdian sosial dan ekonomi.
Sebuah realitas yang tidak boleh dinafikan, itu adalah potensi luar biasa, sebagai peluang sekaligus titik balik menjadikan IKA Unhas sebagai palagan perjuangan dan basis gerakan atau agenda perubahan yang sudah lama tersimpan di laci zaman.
Nah, jika kita mengikuti timeline, pembentukan IKA Unhas versi baru sejak Maret 2022, meriung para pejabat publik, politisi elite dan penguasa wilayah untuk ikut urun rembuq dan mengambil peran.
Proses persiapan dan pelaksanaan Mubes sangat jelas sekali bahwa IKA Unhas butuh domain kuat: kepala daerah, pejabat politik, doktor professor hingga pengusaha dengan pundi-pundi besar dan berceruk dalam. Optimisme pun membuncah ketika ketua umum IKA Unhas terpilih. Tepuk tangan dan bangga.
Penulis salah satu yang sangat optimis dengan itu. Selain merupakan ‘sosok baru’ di tengah latar belakang alumni Unhas yang disebutkan sebelumnya – elite politik regional, pejabat publik dan ber-DNA aktivis sejak dari Tamalanrea – Andi Amran Sulaiman ketua terpilih hadir sebagai sosok yang memberi harapan segar, perubahan signifikan di depan, untuk alumni Unhas, untuk Sulsel, untuk Indonesia bagian Timur untuk NKRI.
Lalu di mana bakal letak perubahan itu? Saya membayangkan perubahan dimulai dari perencanaan perubahan itu sendiri dalam konteks IKA. Bagiamana data, informasi, dianalisis, atau sebaliknya, disintesa menjadi kesimpulan persoalan kita alumni dan sekitar. Sebuah proses yang seharusnya akomodatif dan guyub kata orang-orang.
Juga tentang optismisme bahwa sebagai pemimpin besar dan punya sumber daya finansial yang super jumbo IKA Unhas akan melejit, tak lagi sekadar sekumpulan alumni yang berarisan atau berjoget riang gembira di tengah persoalan bangsa yang kian ambigu, tidak pasti, kompleks seperti benang tak terurai dan rentan.
Bulan berlalu, pelantikan 900-an alumni selesai di JK Arenatorium meski menyisakan rasa penasaran yang akut, mengapa tidak berkirim SK ke masing-masing anggota pengurus, mengapa hanya berseliweran dari grup WA tanpa konfirmasi ke yang bersangkutan.
Tapi sudahlah, kita legowo sebab ini untuk kebaikan bersama. Masih ada rapat kerja IKA Unhas yang bisa menjadi barometer seberapa rasional agenda perubahan yang diusung. Seberapa relevan dengan kebutuhan alumni, seberapa efisien dalam menggerakkan sumber-sumber efisien. Seberapa berdampak ke depan bagi NKRI.
Kita sangat optimis dengan setidaknya tujuh program besar dan penting untuk menorehkan nama besar Unhas, IKA Unhas.
Kita senang melihat pembentukan IKA Unhas yang mulai dari Wilayah Sulawesi Selatan, Luwu Timur, Wajo, Sinjai, Bulukumba dan seterusnya meski kadang kita juga tiba-tiba mengalami kondisi kening berkerut: Seberapa terhubung dengan 900-an pengurus IKA Unhas yang sejatinya bangga dan baru saja menyingsingkan lengan baju.
Atau jangan-jangan saya saja yang teralienasi dengan kerja-kerja-kerja hening dan luar biasa penting bagi negara ini?
Tamarunang, 19/9